Contact us

Jl Raya Padang Panjang, Bukit Tinggi KM 6

Facebook Facebook

Map Icon

  • Need assistance?
  • +62-752 498 400
  • contact@aieangekcottage.com

RUMAH BUDAYA AIE ANGEK

April 17, 2011


RUMAH BUDAYA AIE ANGEK

Selain politisi, Fadli Zon dikenal juga pengoleksi benda-benda kuno. Sedikit di antara koleksinya di titip di Aie Angek, yang berada di wilayah adminstrasi Kabupaten Tanah Darat, yang dinamakan Rumah Budaya Fadli Zon. Letaknya berdekatan dengan Rumah Puisi milik sastrawan Taifiq Ismail.

Rumah Budaya Fadli Zon berdiri di atas tanah 4.700 meter. Sesuai dengan namanya, isi Rumah Budaya dua lantai ini memang syarat dengan koleksi benda-benda kebuda­yaan. Benda kebudayaan itu jauh lebih tua dari rumah budaya itu sendiri, yang baru dibangun Desember 2010.

Di sekeliling, depan dan belakang, atau melihat dari atas, pemandangan alam tersaji lepas. Gunung Tandikek, Singga­lang, dan Marapi ‘menawarkan’ dirinya untuk ditatap. Petani sayur, petani cabai, petani padi, menjadi sahabat alam yang tiap sebentar saling sapa.

Di kelilingi suasana alam itu, Rumah Budaya seperti berada di dalamnya, bukan di antaranya. Ia menjadi bagian dari angin yang bertiup sepoi-sepoi, tak ada suara bising yang muncul dari mobil-mobil. Ini seperti dunia lain, bukan dunia metropolitan.
Jika film Lovely Bones menggambarkan surga dengan air yang mengalir sejuk, bukit yang hijau, keindahan yang tiada tara, maka Rumah Puisi ba­rang­kali realitas dari imajinasi yang diciptakan Alice Sebold itu.

Lorong Waktu

Memasuki Rumah Budaya tak sama masuk ke dalam rumah biasa. Masuk ke da­lamnya seperti melintasi lorong waktu, membawa ke masa yang jauh sekali, berabad-abad sebelumnya. Pengunjung akan terbiasa melihat keris, fosil, yang barangkali tak pernah lagi dijumpai.

“Konsepnya edukasi, sebisa mungkin menampilkan kebu­dayaan Nasional. Orang barang­kali akan tercengang, sebab ia tak pernah melihat sebelumnya. Padahal itu adalah kebu­daya­annya, dan milik dia,” kata Edin Hadzalic, pengelola Rumah Budaya dan Aie Angek Cottage.

Keris Luk 9, asal Paga­ruyung dari abad 18, mulai menemani menyusuri lorong waktu tersebut. Akan ditemu­kan setrika baju dari bara, songket lama, seribu koleksi buku, dan pelbagai lukisan.

Lalu, akan mudah akrab dengan segala fosil. Sebab, fosil-fosil tersebut menjadi ‘bagian’ dari diri. Duduk di tepi kolam renang, tempat duduknya bukan dari kayu meranti atau ditata dengan konsep modern, tapi dari akar pohon jati ribuan tahun lalu.

Fosil kayu berbentuk kursi panjang bisa memuat tiga orang di pajang di halaman cottage menghadap ke Gunung Singgalang. Menurut Edin, fosil kayu itu juga merupakan koleksi Fadli Zon. Seperti apa bentuk gading kerbau bila disimpan dalam waktu 2 juta tahun? Ini ditaruh di lantai dua, persis di dekat jenjang. Bahalus Pakokarabau, nama fosil tersebut.

Lorong waktu terasa se­makin panjang. Wajah-wajah Syahrir, Hatta, Tan Malaka, Chairil Anwar, mengingatkan pada perjuangan merebut ke­mer­dekaan. “Ini semua pah­lawan asal Minangkabau,” Edin buru-buru menjelaskan. Mendominasi dinding-din­ding, selain para pejuang, juga lukisan-lukisan. Mulai dari awal masuk, atau di manapun tempat rehat, di sana ada lukisan dipajang. Menurut lelaki asal Serbia ini, lukisan-lukisan itu dibeli Fadli Zon langsung dari pelukisnya, dari pelbagai negara dan bermacam-macam jenis lukisan.

Tercatat nama pelukis nasional Hardi, Eko, dan Kamal Guchi. Lukisan-lukisan itu menjadi bagian dari kein­dahan yang muncul secara alami di sekeliling Aie Angek. Rumah Budaya yang be­lum diresmikan tersebut terasa ‘sempit’ oleh peninggalan-peninggalan masa lalu. Namun ia tidak tampak seperti mu­seum. Ia memanjakan pengun­jung yang datang dari dunia lain, dunia metropolis yang serba instan, yang lebih banyak ‘maunya’, sulit menerima apa adanya.

Maka, berada di dalam lorong waktu tersebut, terasa tidak melelahkan. Lorong waktu itu sepertinya bisa dimasuki oleh siapapun, baik hanya untuk sekadar kagum, atau benar-benar ingin mem­pelajarinya. Ia seperti ingin menyatukan antara masa kini dan lampau.

Galeri di Kamar Tidur

Selain Rumah Budaya, di Aie Angek Kabupaten Tanah Datar itu, di tempat yang sama masih ada Rumah Puisi milik Taifiq Ismail dan cottage. Menurut Edin, cottage untuk tempat menginap. Namun, fungsinya tidak hanya sekadar tempat tidur. Tempat tidur itu dihiasai lukisan-lukisan, persis seperti berada di dalam galeri.

Disediakan 22 kamar, de­ngan tawaran sajian keindahan alam. Group musik Bimbo pernah menginap di sini ketika akan tampil dalam seminar 1 abad Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Menurut Sam Bimbo, ia sangat kagum dengan Rumah Budaya itu. “Ketika per­pus­takaan HB Jassin ditu­tup karena kekurangan dana, saya melihat ada harapan di Rumah Budaya sebagai tempat pelestarian budaya,” kata Sam.

Selesai acara, Sam tidak langsung berangkat ke Jakarta. Ia memutuskan untuk kembali esok harinya, dan menyediakan waktu memanjakan dirinya di sana, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk tempat mereka berasal, Cirebon.

Tempat Segala Bisa

Menurut Edin, Rumah Budaya seperti rumah yang menampung segala macam kebudayaan. Ia tidak hanya sebagai penyedia koleksi, tapi juga terlibat dalam dunia kekinian. Maka, ada executive lounge, ruangan rapat, aula konferensi, dan kafe Kaki Langit.

Edin menyebutkan, ke depannya, akan ditampilkan saluang dan tari di Rumah Budaya. “Ini juga untuk meles­tarikan kesenian Minang­kabau,” kata Edin. Namun, Edin belum bisa memastikan, kapan agenda tersebut siap digelar. Menurutnya, pro­gramnya sedang dirancang. Dan, ketika kebudayaan telah menyatu di Aie Angek, selalu tersimpan harapan, di tengah tidak adanya perhatian terhadap pelestariannya.

Sumber

Share this:

  • Facebook
  • Twitter